Pro dan Kontra Kenaikan Tarif Taksi Online

KEMENTERIAN Perhubungan telah menetapkan penyesuaian tarif batas atas dan bawah untuk taksi online dalam Permenhub No. 26 tahun 2016 tentang Penyelenggaraaan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Peraturan ini berlaku efektif mulai 1 Juli 2017.

Dalam Permenhub tersebut diatur tarif taksi online terbagi menjadi dua wilayah. Wilayah I meliputi Sumatera, Jawa dan Bali. Sementara wilayah II meliputi Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Untuk wilayah I ditetapkan tarif batas bawah Rp 3.500 per kilometer dan tarif atas Rp 6.000 per kilometer. Sementara wilayah II tarif bawahnya Rp 3.700 per km dan atasnya Rp 6.500 per km.

Digital Nusantara Advertising (Diginusa) mencoba melakukan monitoring isu penyesuaian tarif taksi online merujuk pada pemberitaan media-media online sejak 1 Maret sampai 10 Juli. Pemilihan Maret sebagai bulan permulaan karena pemberitaan tentang isu ini sangat tinggi lantaran kontroversi keberadaan taksi online.

Hasilnya, terjadi pro dan kontra menyikapi pemberlakukan Permenhub Nomor 32 ini. Pengelola taksi konvensional dan angkutan umum sepakat mendukung penetapan Permenhub No. 16 dengan alasan penerapan tarif atas dan bawah untuk taksi online membuat persaingan antara angkutan umum konvensional dan online lebih fair.

Organisasi angkutan darat atau Organda salah satu pihak yang paling mendukung Permenhub. Sopir-sopir taksi dan angkutan umum konvensional lainya seperti angkot juga menilai Permenhub No. 32 tahun 2016 sebagai hal yang positif.

Tidak tercatat di media, pihak dari angkutan umum konvensional yang mengkritik hal tersebut. Namun, pada Maret terlihat bahwa para sopir kendaraan umum konvensional ini menilai Menhub kurang tegas dalam menindak taksi online. Sehingga muncul desakan dari para pengemudi konvensional untuk menekan pejabat di daerah menetapkan penolakan pada taksi online.

Sementara itu sebagian pengelola dan pengemudi taksi online keberatan dengan penetapan Permenhub ini. Uber misalnya, menyebut peraturan ini perlu dipertimbangkan karena pembatasan biaya perjalanan dan kuota kendaraan menghalangi warga berbagi tumpangan sekaligus membatasi akses pada layanan terjangkau.

Pengelola taksi online lainnya, menerima keputusan pengaturan itu dengan sejumlah catatan. Poin yang paling banyak dikeluhkan, terutama oleh pengemudi taksi online, adalah aturan mengenai kepemilikan STNK yang harus berbadan hukum. Sejumlah sopir taksi online yang menolak Permenhub No. 32 tahun 2016 juga berasumsi bahwa kenaikan tarif dan sejumlah aturan yang diterapkan oleh kemenhub akan menyulitkan mereka dalam mencari nafkah.

Namun, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan bahwa kenaikan tarif taksi online yang termaktub dalam Permenhub No. 32 masih lebih murah dibandingkan taksi-taksi konvensional.

Dia mencontohkan tarif batas bawah yang ditetapkan untuk wilayah 1 sebesar Rp 3.500. Menurut Budi, harga itu jauh lebih murah karena tidak ada tarif buka pintu seperti diberlaku taksi konvensional. “Lebih murah lumayan bisa 15 persen,” kata Budi beberapa hari setelah setelah penetapan Permenhub 32.

Lebih dari itu, kata Menhub, penerapan Permenhub ditujukan untuk melindungi industri taksi online secara jangka panjang agar tidak terjadi monopoli di sektor tersebut.

Tanggapan masyarakat

Pendapat khalayak mengenai penetapan tarif atas dan bawah taksi online juga terbelah. Sebagian besar keberatan dengan pemberlakuan Permenhub No.32 Tahun 2016 dengan alasan keberadaan taksi online membuat lapangan pekerjaan cukup besar bagi masyarakat.

Kritik cukup keras bahkan datang dari kalangan pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi). Anggawira, salah seorang pengurus Hipmi menuding penetapan Permenhub No. 32 sebagai langkah merusak dunia usaha karena melindungi kartel industri transportasi.

Meski demikian, perbedaan pandangan di internal organisasi konsumen seperti YLKI pusat dan daerah. Pihak yang pro penyesuaian tarif taksi online beralasan kesetaraan dalam persaingan, sedangkan kubu kontra beranggapan pengaturan pada taksi online justru berdampak buruk bagi ekonomi masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.