Kebakaran hutan masih mengancam
KEBAKARAN hutan dan lahan yang menyebabkan kabut asap hebat pada 2015 lalu berpotensi terulang tahun ini. Berdasarkan pantauan satelit Modis (Terra Aqua) milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), terjadi perluasan sebaran titik panas di beberapa daerah rawan kebakaran hutan, pada Juli lalu.
Ratusan titik panas (hotspot) terdeteksi di Riau, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Timur. Titik api juga terpantau di daerah baru yang sebelumnya bukan langganan kebakaran, misalnya Aceh. Di Bumi Serambi Makkah ini kebakaran telah menghanguskan lebih dari 200 hektare lahan.
Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, pembukaan lahan baru bersamaan dengan tibanya musim kemarau menjadi pemicu peningkatan jumlah titik panas yang bersumber dari kebakaran hutan. Selain itu, ada lebih dari satu juta hektare lahan gambut di Kalimantan yang rawan terbakar pada musim kemarau.
Sejumlah langkah antisipasi pun dilakukan pemerintah pusat, maupun daerah, untuk mencegah terulangnya bencana kabut asap seperti dua tahun silam. Antara lain dengan menetapkan status siaga darurat kebakaran untuk lima provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimatan Barat, dan Kalimantan Selatan. Status ini untuk memudahkan koordinasi penanganan kebakaran di wilayah-wilayah tersebut.
Antisipasi lain, pengerahan belasan helikopter bom air dan dua pesawat hujan buatan di daerah darurat kebakaran. Selain itu dilakukan operasi pemadaman di darat, operasi pelayanan kesehatan, dan penegakan hukum.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menko Polhukam Wiranto untuk mengumpulkan Kapolda, Pangdam, Danrem, Kapolres, Dandim, sampai Kepala Daerah di seluruh wilayah terdampak kebakaran. Jokowi akan menggelar rapat terbatas membahas penanganan kebakaran hutan yang tak kunjung bisa diselesaikan.
Koordinasi juga dilakukan Kementerian LHK dengan Kepala Daerah dan Satgas Kebakaran Hutan dan lahan untuk menindak tegas pelaku pembakaran lahan. Kementerian LHK sejauh ini membolehkan sistem berladang menggunakan pembakaran lahan, namun tidak lebih dari dua hektare.
Pangdam 2 Sriwijaya, Mayjen TNI AM Putranto, memperingatkan kepada para pembakar lahan di wilayah Sumatera Selatan untuk menghentikan perbuatanya. Jika tidak, aparat akan menembak di tempat para pelaku pembakaran.
Kebakaran lahan yang tak kunjung usai
Kebakaran hutan sudah menjadi bencana tahunan di Indonesia dan 2015 merupakan kebakaran dengan kabut asap terparah. Dalam catatan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA), kebakaran hutan di Indonesia tahun 2015 serupa kejadian tahun 1997 yang tercatat sebagai bencana kabut asap paling parah dalam sejarah.
Fenomena El Nino menyebabkan musim kemarau sangat panjang dan mempersulit upaya pemadaman. Kabut asap mengepung Sumatera dan Kalimantan, bahkan sampai ke negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Thailand dan Filipina juga terkena imbasnya.
Antara Juni sampai Oktober 2015, tak kurang dari 100 ribu titik api melumat jutaan hektare lahan. Korban pun berjatuhan, tak terkecuali dampak ekonomi yang diperkirkan mencapai ratusan triliun.
Tahun 2016, pemerintah mengklaim tingkat kebakaran hutan dan lahan turun drastis, bila merujuk pada dua pemantauan satelit, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat dan Terra Aqua milik LAPAN.
Pertengahan tahun ini, kebakaran hutan dan lahan kembali terjadi. Hingga awal Agustus lalu, terpantau lebih dari 1.000 titik panas yang tersebar di sembilan provinsi, yakni Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.
Meski 2017 merupakan tahun “normal” tanpa siklus El Nino yang menyebabkan kemarau panjang, kebakaran nyatanya masih terjadi. Bahkan terus menyebar ke daerah-daerah yang bukan menjadi langganan kebakaran.
Kapan kebakaran hutan berakhir?