Rayuan Dilan dan Eksistensi Masyarakat Digital
“Jangan rindu, berat. Kamu enggak akan kuat. Biar aku saja.“
-Dilan 1990-
AYO ngaku deh, pernah ikut-ikutan ngegombal dengan rayuan maut Dilan buat Milea itu ‘kan?
Kutipan tersebut begitu populer sehingga tak hanya menjadi rayuan andalan mereka yang sedang kasmaran, ungkapan perasaan Dilan kepada Milea itu juga diolah menjadi beragam meme untuk berbagai kampanye digital di platform media sosial. Kementerian, korporat, partai politik, figur publik, sekolah, semua ikut-ikutan dalam tren ini.
Selain Dilan, ada juga tren Om Telolet Om, Hey Tayo hingga berbagai tantangan seperti Ice Bucket Challenge, Kiki Challenge dan 10 Years Challenge. Semua silih berganti menghiasi linimasa media sosial. Tren yang tersiar melalui media sosial juga mendorong orang rela berjam-jam mengantre untuk mendapatkan barang atau mencicipi tren makanan terbaru hanya karena hal tersebut sedang viral.
Dalam kacamata psikologi, kebiasaan ikut-ikutan bisa dijelaskan sebagai “bandwagon effect” yaitu kondisi ketika orang-orang cenderung mengikuti perilaku, gaya, bahkan cara berbicara orang lain hanya karena semua orang melakukan itu. Magnitude bandwagon effect pun kian luas ketika influencer turut menyebarluaskan tren melalui beranda profil mereka.
Menurut Psikolog dari Pusat Layanan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Cicilia Evi, pengaruh para influencer memberikan motivasi tersendiri bagi para pengguna media sosial untuk ikutan eksis dan menyebar informasi yang sedang happening. Dari aspek internal, ada kekhawatiran dicap enggak gaul atau akan dikucilkan jika tidak mengikuti tren.
Tren viral di media sosial juga menumbuhkan motivasi sosial dan mengubah cara pandang tentang eksistensi. Seseorang yang eksis adalah mereka yang rajin membagikan sesuatu yang sedang happening di media sosial, atau bahkan mengikuti tren viral. Sebaliknya, jika seseorang memilih tidak mengikuti pola ini, bisa jadi orang-orang di sekitarnya mempertanyakan keberadaannya. Cicilia menegaskan, pertanyaan akan eksistensi tersebut bukan secara fisik, tapi secara virtual. Dan karena tekanan sosial yang begitu besar pada masyarakat digital, seseorang yang takut dikucilkan pun akan ikut berpartisipasi dalam tren viral, meskipun ia sendiri tidak begitu mengerti atau mengingingkannya.
Sementara itu, secara sosiologis, tren viral bisa terjadi akibat adanya kejenuhan dalam kehidupan masyarakat. Dengan menikmati, menyebarkan bahkan turut berpartisipasi dalam berbagai kejadian sederhana yang kemudian viral, masyarakat ingin lari sejenak dari hiruk-pikuk kegaduhan politik atau peristiwa serius di sekitarnya. Hal-hal sederhana tersebut menjadi jeda, sebuah hiburan yang murah meriah.
Dosen Ilmu Sosiologi dari Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menyebut, fenomena viral juga bisa dianggap sebagai ‘perlawanan’ yang dilakukan masyarakat awam. Dalam budaya ini orang-orang biasa bisa menjadi aktor utama. Masyarakat pun tak terjebak pada sesuatu yang elitis, yang didesain sedemikian rupa sebagai framing media massa.
Meski kelihatannya asyik untuk ikutan eksis dengan ikut berpartisipasi dalam berbagai tren viral, kita perlu tetap bijak menyikapi fenomena ini. Misalnya, teliti baik-baik jika mendapat tautan konten yang sedang viral sebelum membagikannya. Jangan sampai kita malah terjebak menyebarluaskan konten hoax.
Selain itu, tak semua tren juga harus kita ikuti agar terlihat keren, kok. Bisa jadi, kita cukup menikmatinya sebagai hiburan. Atau sebaliknya, kreatif membuat konten out of the box dan ciptakan viralitasmu sendiri.
Be a trendsetter, not a follower.