Kenapa sih medsos isinya penuh sama orang-orang antre semua?

Suka penasaran nggak sih, kok di media sosial orang-orang senang banget antre berjam-jam sampai mengular gitu? Mereka nggak capek apa? Ya, capeklah tapi kan sekarang lagi zamannya apa-apa harus antre. Mau nonton konser, antre. Mau pakai produk kolaborasi Uniqlo X Kaws, ya antre. Mau nyobain kuliner terbaru yang lagi hits, ya tetep antre. Bahkan, mau masuk tol aja harus antre.

Photo by Hal Gatewood on Unsplash

Masalah antre ini ternyata sudah menjadi budaya sejak zaman dahulu kala. Leon Mann, seorang sosial psikolog dalam jurnalnya yang berjudul Queue Culture: The Waiting Line as a Social System di 1964 mengatakan bahwa antrean adalah miniatur dari sistem sosial yang ada di masyarakat yang dihadapkan pada masalah-masalah yang ada di setiap sistem sosial. Gambaran mudahnya seperti ini, seseorang memutuskan masuk ke dalam sebuah antrean, kemudian orang lain pun juga masuk ke dalam antrean tersebut, antrean pun menjadi semakin panjang. Persis seperti terbentuknya sebuah masyarakat.

Tanpa adanya antrean, masyarakat tak perlu membuat norma apapun. Kini, antrean telah mengular dan munculah kesepakatan bersama tentang peraturan atau norma dalam antrean tersebut untuk menghindari adegan saling mendorong atau bentuk kecurangan lainnya. Mereka yang mengantre akan menjaga tempatnya, sabar menunggu, kalau nggak sabar ya pergi saja karena antrean ini bukan sesuatu yang mengikat tapi lebih mengarah pada asas kebutuhan. Nggak lupa, jika ada seseorang yang menyelak antrean atau membuat kegaduhan dan menimbulkan huru-hara, sanksi pun siap ditegakkan. Jadi, kalau kamu nyelak atau menyerobot antrean, siap-siap saja mendapat tatapan yang nggak menyenangkan dari mereka yang sudah menghabiskan waktunya untuk antre.

Zaman nenek moyang kita, antre adalah kegiatan yang membosankan. Seperti menunggu, keduanya sama-sama membosankan. Berjam-jam, entah berdiri, entah duduk, kalau bisa tidak antre ya ngapain harus antre mending nonton Netflix & Chill. Tapi itu dulu, sekarang? Ya… nggak usah ditanya. Coba langsung lihat di media sosial, sesuatu yang nggak bikin antre itu berarti nggak viral.

Nyatanya fenomena antre kini terasa lebih menyenangkan sejak adanya media sosial dan sejak semakin banyaknya pengguna media sosial di Indonesia. Mereka yang mengantre seperti baru saja membentuk sebuah komunitas. Tertawa bersama, gaya berpakaian yang sama, dan tentu saja memiliki tujuan yang sama. Hal ini biasanya bisa kita temukan dalam antrean kelas festival sebuah konser musik. Tanpa bantuan petugas keamanan, para fans ini sangat mandiri dan menunjukkan kemandiriannya dengan membentuk antrean mengular. Tak lupa, dengan cekatan dan tanpa titah dari pihak penyelenggara, mereka sibuk mengupdate kegiatan antre di media sosial.

Tak ayal antre menjadi konten yang bisa dibagikan dengan leluasa di media sosial. Rasa keingintahuan masyarakat yang besar terhadap suatu kejadian yang tengah menjadi buah bibir menjadi bumbu penyedap bagi keramaian itu sendiri. Sekarang sih sudah bukan dari mulut ke mulut lagi tapi dari retweet ke retweet, like ke like, dan comment ke comment. Banggg!!! Konten yang kamu bagikan pun viral dan orang akan berbondong-bondong menuju pusat keramaian itu.

Masih ingat berita tentang para kaum hypebeast yang rela antre berjam-jam bahkan menginap agar bisa memiliki koleksi terbaru Uniqlo yang berkolaborasi dengan Brian Donnely atau Kaws? Seluruh gerai Uniqlo di ibukota pun langsung ramai dibanjiri pembeli dari Jakarta maupun dari luar Jakarta. Sebanyak 500 pieces kaos Uniqlo X Kaws ini pun ludes dalam waktu 30 menit. Yang tak kebagian tentu kecewa, ada pula yang menangis.

salah satu ikon fenomenal yang dibuat Brian Donnely atau Kaws/ sumber: instagram/kaws

Sedih memang, sudah antre berjam-jam sampai rela tidur di parkiran tapi nggak berhasil mendapatkan barang incaran. Tapi tenang aja. Berkat kecanggihan teknologi, kamu nggak usah capek-capek ngantre kalau ingin mencicipi makanan atau minuman kekinian seperti boba tea. Dengan kekuatan ibu jari dan akses internet, kamu bisa menikmati boba tea atau kuma cheese toast tanpa perlu antre berjam-jam. Bahkan, sambil menunggu makananmu tiba, kamu tetap bisa nonton Netflix & Chill. Kok bisa? Ya… berterimakasihlah pada Nadiem Makariem dan Anthony Tan yang telah memangkas 50 persen kesulitan dalam hidup kita dalam hal antre mengantre ini. Terima kasih juga untuk babang ojek online yang mau mengantre berjam-jam demi memenuhi hasrat para hypebeast ibukota.

Melihat fenomena ini, tak jarang para marketers melihatnya sebagai peluang marketing bagi brand mereka. Antrean panjang dan fenomenal yang viral di media sosial menjadi salah satu cara yang bisa digunakan untuk mendongkrak penjualan dan bukti kesuksesan dari sebuah brand. Hal ini akan sering terjadi di era marketing digital 4.0 di mana proses pemasaran menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi terbukti memangkas banyak proses sehingga yang menjadi tantangan saat ini adalah waktu atau kecepatan.  Mereka yang lambat, mereka yang diam, stagnan, dan lupa caranya untuk bersenang-senang sudah pasti akan tertinggal. Tak lupa, selalu libatkan manusia dalam setiap brand campaign yang tengah dijalankan karena sisi humanisme adalah sesuatu yang akan terus dicari di era digital 4.0 ini. Satu lagi, ada banyak sekali sukarelawan di media sosial yang akan mempromosikan produkmu dan memberikan engagement yang tinggi tanpa perlu kamu minta. Aseekk, hitung-hitung promosi gratis.