Melihat Peta Polemik Tarif Bawah Telekomunikasi

Industri telekomunikasi di Indonesia kembali mendapat sorotan media sejak pekan lalu. Pemicunya adalah surat Presiden Direktur & CEO Indosat Ooredo Alexander Rusli kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Dalam surat, dengan nomor 621/AE0-AEJ/REL/17, tertanggal 17 Juli 2017, Alex menyampaikan keprihatinan atas kondisi persaingan usaha di sektor telekomunikasi, terutama dalam penyediaan layanan komunikasi data. Menurut Alex, kondisinya “sudah lama berada dalam situasi persaingan usaha tidak sehat.”

Dia menjelaskan, “Operator terjebak dalam perang tarif yang berbahaya bagi keberlangsungan industri telekomunikasi. Tingkat harga layanan komunikasi data di Indonesia sudah sangat rendah dan jauh di bawah harga layanan sejenis di negara lain. Layanan ini dijual dengan harga di bawah biaya produksi.”

Sebagai solusi, Alex mengusulkan agar pemerintah menetapkan tarif batas bawah, seperti halnya di industri transportasi.

Dalam suratnya, Alex menyinggung ihwal imbal hasil yang diperoleh dari kegiatan penyediaan layanan tidak memadai sehingga mengurangi kemampuan operator untuk mempertahankan layanan, apalagi memperluas layanan.

Group Head Corporate Communications Indosat Ooredoo, Deva Rachman, seperti dikutip Kompas Tekno, menjelaskan imbal hasil Indosat dari bisnis data cenderung turun. Dia mencontohkan, imbal hasil pada tahun 2014 mencapai Rp63 ribu per GB, sedangkan kuartal IV 2016 hanya Rp16 ribu per GB.

Isu tarif bawah telekomunikasi sebenarnya menyangkut nasib ratusan juta pelanggan data di Indonesia. Meskipun demikian, wacana ini baru bergulir secara terbatas di Jakarta saja. Lingkup isunya pun masih terbatas di organisasi yang terkait, seperti Indosat Ooredo, Kemenkominfo, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan Yayasan Lembaga Konusumen Indonesia.

Demikian juga dengan aktor-aktor yang terlibat, dan kerap dikutip media, belum cukup beragam. Mereka adalah Rudiantara, Alexander Rusli, Deva Rachman, Danny Buldansyah, Syarkawi Rauf, I Ketut Prihadi. Memang, ada juga narasumber berstatus pengamat, yakni Heru Sutadi dan Ridwan Effendi yang sering dikutip CNNIndonesia.

Berdasarkan data yang kami kumpulkan, pada periode 20-26 Juli 2017, media daring teraktif memberitakan polemik tarif bawah telekomunikasi adalah detik.com dan CNNIndonesia.com. Sementara media cetak diwakili Bisnis Indonesia dan Neraca.

Media cukup kritis memberitakan topik ini. Bisnis Indonesia, misalnya, dalam artikel berjudul “Industri Telekomunikasi, Buat Siapa Tarif Bawah?” menyebutkan: “Pandangan tarif bawah sebagai penyelamat operator jelas berbeda prinsip dengan KPPU. Komisi masih konsisten dengan berbagai kebijakan serupa, termasuk yang baru saja diterapkan dalam mekanisme tarif taksi berbasis aplikasi daring. Kebijakan tarif bawah bukan obat, hanya penawar sakit bagi pelaku usaha yang tak efisien.

Prinsip persaingan usaha memang menoleransi adanya penerapan batas atas oleh pemerintah, tetapi tidak dengan penerapan tarif b atas bawah. Kebijakan semacam ini hanya akan melindungi pelaku usaha yang tidak efisien untuk bertahan di industri tersebut. Seharusnya yang diatur adalah standar minimal, sperti dalam hal kenyamanan dan keselamat-an penumpang.

Ada yang lebih krusial lagi, yakni konsumen yang dirugikan karena harus membayar harga minimal sebesar yang ditentukan dalam tarif bawah. Padahal, mungkin saja layanan yang diberikan kurang dari itu.”

Adapun detik.com cenderung netral, sedangkan CNNIndonesia cenderung memberitakan dengan nada negatif. Pada 22 Juli lalu, misalnya, CNNIndonesia, menyebut “Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai, tindakan Indosat yang meminta pemerintah menetapkan batas bawah tarif internet bisa jadi menjadi indikasi bahwa operator itu sudah lelah dengan persaingan banting harga.”

Walaupun akan berdampak kepada seluruh operator, hingga hari ini, belum terlihat ada respons resmi operator lain terhadap isu penetapan tarif bawah telekomunikasi. Mereka sebatas menanggapi jika ada pertanyaan wartawan, seperti yang dilakukan Deputy Director Tri Hutchinson Indonesia, M Danny Budiansyah. Dengan kata lain, Alexander Rusli baru terlihat sebatas mewakili kepentingan Indosat semata, sekalipun di dalam suratnya, Alex menyoroti kondisi industri telekomunikasi secara umum.

KPPU sendiri sudah menolak permohonan Indosat agar pemerintah menetapkan tarif bawah telekomunikasi. Kepada detikInet, Ketua KPPU menjelaskan ada 5 alasan penolakan tersebut. “Semakin efisien perusahaan, semakin besar kemampuannya menawarkan tarif yang kompetitif, dan karena kemampuan efisiensi perusahaan beragam, maka menyebabkan munculnya berbagai besaran tarif di pasar, yang menjadi pilihan konsumen,” kata Syarkawi kepada detikINET.

Polemik mengenai tarif bawah telekomunikasi ini belum akan berakhir. Operator tampaknya hendak menggulirkan bola salju melalui pernyataan kepada pers dan menggelar forum diskusi. Pada Rabu, 26 Juli 2017, kelompok yang menyebut diri Indonesia Technology Forum (ITF) mengundang media untuk diskusi “Mencari Tarif Data yang Ideal”. Pembicara yang tercantum di undangan adalah Rudiantara, Alexander Rusli, Merza Fachys, Ketut Prihadi, Muhammad Syarkawi Rauf, dan Tulus Abadi.

PR besar bagi pendukung wacana ini adalah memperluas cakupan isu baik secara geografis maupun aktor dan lembaga yang terlibat. Selain itu, memperkuat argumen, mengapa pemerintah harus menetapkan tarif bawah agar masyarakat teryakinkan bahwa persoalan ini tak semata-mata demi kepentingan entitas bisnis tertentu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.