Predikat netizen paling tidak sopan dan fenomena akun fake

(Foto: Canva)

Entah kita sadari atau tidak, dunia maya menjadi arena berselancar tak terbatas. Ada banyak hal yang bisa kita lihat. Berbagai hal pula yang bisa kita bagikan. Namun, hak bebas berpendapat bisa menjadi pisau yang melukai siapa saja. Terutama, komentar-komentar pedas nan tajam dari warganet atau netizen.

Tentu kita belum lupa, akhir Februari lalu, Microsoft, perusahaan multinasional Amerika Serikat merilis sebuah laporan berjudul ‘Civility, Safety, and Interaction Online (2021)‘. Riset ini menunjukkan Indonesia berada di ranking ke-29 dari 32 negara dalam ukuran perilaku masyarakat di media sosial. Peringkat ini tergolong buruk, netizen Indonesia otomatis menyandang “Netizen paling tidak sopan se-Asia Tenggara”.

Tidak terlalu mengejutkan memang, karena kejadian yang menggambarkan buruknya sopan santun netizen Indonesia sudah sering terjadi. Masih ingat peristiwa hilangnya akun Instagram All England setelah diserbu netizen Indonesia? Kemarahan netizen saat itu dipicu perasaan tidak terima karena tim nasional Indonesia dipaksa mundur dari turnamen bulutangkis bergengsi tersebut.

Ada lagi drama hubungan Dayana, perempuan asal Kazakhstan, dengan YouTuber Indonesia Fiki Naki. Berawal dari pertemuan tak disengaja, keduanya lalu membuat konten bersama.  Kolaborasi ini berbuah simpati netizen Indonesia terhadap Dayana, sekaligus memberi penambahan signifikan pengikut akunnya. Namun, saat relasi Dayana dan Fiki Naki berujung konflik, netizen Indonesia pun tak ragu untuk beramai-ramai unfollow akun Instagram Dayana.  

Satu kasus lagi, netizen Indonesia tak ketinggalan ramai mengomentari selebgram Rachel Vennya saat ia melepas hijab pada akhir 2020. Lewat akun Instagram pribadinya, Rachel membeberkan bahwa ia diserang banyak netizen terkait keputusannya melepas hijab, hingga akhirnya ia harus memblokir akun-akun tersebut.

Bebas berpendapat, komentar yang ceplas-ceplos, hingga perilaku bullying semakin mendapat tempat di dunia maya didukung fenomena akun fake/palsu. Fenomena ini lazim dilakukan ketika seseorang membuat akun kedua sebagai tempat bersembunyi dari identitas asli. Lewat akun palsu inilah seseorang kerap melontarkan komentar-komentar negatif tanpa takut diserang balik karena identitasnya tidak terdeteksi netizen lain. Ekstremnya lagi dan tidak patut ditiru, sebagian akun palsu bahkan mengunakan identitas dan foto orang lain.

Inilah mengapa kita dituntut bijak bermedia sosial. Mengulas salah satu berita kominfo.id, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik, Rosarita Niken Widiastuti dalam sebuah talkshow pernah berucap, “Sebagai sebuah budaya baru,  hadirnya media sosial  ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi menimbulkan manfaat positif luar biasa, namun di sisi lain low-taste content yang membanjir melalui internet dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.”

Memiliki kesadaran diri dalam bermedia sosial seharusnya bukan lagi tuntutan, melainkan kewajiban. Kita mewajibkan diri untuk tanggap dengan berbagai fenomena di dunia maya, dibarengi juga dengan belajar membangun etiket yang baik.

Mengutip alinea.id, ada 10 etiket dalam berinteraksi di dunia maya versi Staf Ahli Menteri Kominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Widodo Muktiyo:

1. Ingatlah keberadaan orang lain;

2. Taat kepada standar perilaku online yang sama kita jalani dalam kehidupan nyata;

3. Berpikir lebih dulu sebelum berkomentar;

4. Hormati waktu dan bandwidth orang lain;

5. Gunakan bahasa yang sopan dan santun;

6. Bagilah ilmu dan keahlian;

7. Menjadi pembawa damai dalam diskusi yang sehat;

8. Hormati privasi orang lain;

9. Jangan menyalahgunakan kekuasaan; dan

10. Maafkan jika orang lain membuat kesalahan.

Mari sudah saatnya kita berubah, tidak hanya untuk kebaikan diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain, bahkan seluruh penduduk di dunia maya.

(Lismei Yodeliva)